Senin, 16 Oktober 2017

Ketika Aku Mengarungi "Narasi Besar Dunia"


Refleksi Perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika Pertemuan ke-4
Dosen Pengampu: Prof.Dr. Marsigit, MA.
Tanggal 10 Oktober 2017

Oleh: Irham Baskoro
NIM: 17709251004
Pendidikan Matematika Pascasarjana (Kelas A)
Universitas Negeri Yogyakarta



      Sore itu, tanggal 10 Oktober 2017, aku mengikuti kuliah Filsafat Bapak Prof Marsigit pertemuan ke empat.  Kebetulan kelasku mendapat jadwal kuliah filsafat tiap hari Selasa jam terakhir (jam setengah empat sore). Dengan memanfaatkan spidol dan papan tulis, Pak Marsigit mengawali perkuliahan dengan menggambar timeline. Suatu garis waktu yang ujungnya berupa laut dengan kapal dan ikan-ikannya. Akupun mulai bingung? Gambar apa sih itu? Ya begitulah aku, selalu bingung dengan hal-hal filsafat. Tetapi Alhamdulillah aku bingung, karena itu pertanda aku mulai berfikir. Pak Marsigitpun melanjutkan ekspository-nya. Beliau menjelaskan bahwa orang yang berfilsafat itu sedang mencari air yang jernih di lautan sana. Sehingga kita, para ikan-ikan di dalamnya akan sehat dan dapat berenang dengan nyaman. Namun zaman sekarang, ikan-ikan di laut pada berloncatan, stress, terbang, bahkan terapung. Salah satunya karena muncul berita-berita hoax, berita tipu-tipu, atau informasi bohong dan tidak rasional yang tak terbendung menyebar di berbagai media.
      Untuk mencapai kejernihan berfilsafat, bahasa menjadi salah satu kuncinya. Sebenar-benar kamu adalah bahasamu. Sebenar-benarnya hidupmu adalah bahasamu. Sebenar-benar rumahku adalah bahasaku. Sebenar-benar pikiran adalah bahasa. Dalam perkuliahan, bahasa dapat terwujud dalam suatu karya ilmiah seperti tesis atau disertasi. Kalau kamu plagiat dalam membuat karya tulis ilmiah, tesis, atau disertasi, maka itulah jiwamu yang sebenar-benarnya yaitu jiwa bohong atau jiwa plagiat.
      Dalam pikiran kita, filsafat hanya ada dua perkara saja, yaitu bagaimana menjelaskan pada orang lain dan bagaimana aku mampu memahaminya. Namun sepanjang akhir zaman tiada satu orangpun yg berhasil menggapainya, sampai-sampai Socrates menyatakan bahwa sebenar-benar diriku tidak mengerti apapun. Sehingga sebenar-benarnya diriku dalam kenyataan adalah bersifat kontradiksi atau A tidak sama dengan A. Sebenar-benar diriku tidak mampu menujuk siapa diriku, sebab disaat aku belum selesai menunjuk, aku sudah ganti dari aku yang tadi menjadi aku yang nanti, karena filsafat terikat ruang dan waktu. Menunjuk diriku saja tidak mampu, apalagi menunjuk orang lain. Jika berbicara tentang keberadaan Tuhan, maka Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu seperti layaknya manusia. Tuhan di pagi hari tidak berbeda dengan Tuhan di sore hari. Namun ternyata tidak semua umat meyakininya. Bapak Marsigit mengambil contoh masyarakat Jepang. Mereka menganggap Tuhan mereka adalah matahari, yang cerah di pagi hari, redup di sore hari, dan hilang di malam hari. Orang Jepang juga mempercayai bahwa Tuhan mereka (shinto) bersifat plural (banyak), seperti Tuhan Gunung, Tuhan Bumi, Tuhan Bulan, dan lain-lain.
      Pak Marsigit melanjutkan pemaparannya. Akupun semakin asyik mendengarkan kata demi kata beliau. Beliau mengatakan bahwa "Diriku yang di alam pikiran itulah diriku yang idealis". Itulah identitas atau A sama dengan A. Itulah mengapa matematika bersifat abstrak (hanya di alam pikiran). Dalam mengajarkan matematika pada anak, matematika yang berada di alam pikiran itu harus diturunkan ke bawah untuk menjadi matematika yang nyata, kongkret, dan berdasar pengalaman sehari-hari. Pemaparan itu menyadarkanku bahwa ternyata aku masih terlalu abstrak dalam memberikan bimbingan atau les matematika pada anak SD.
      Pak Marsigit juga mengatakan bahwa sebenar-benar musuh filsafat adalah tidak tuntas. Sehingga beliau memberikan pesan bahwa jangan berani-berani berfilsafat di luar ruang dan waktunya. Tidak usah terlalu banyak berfilsafat ketika berinteraksi dengan tetangga, pedangang, sopir, atau kernet. Secerdas-cerdas kita adalah kita yang bisa menempatkan dan menyesuaikan ruang dan waktu. Jangan sampai usai kuliah filsafat, ketika ayah atau ibu bertanya "kamu bawa apa nak??" lalu kujawab "Aku bawa oleh-oleh hakikat", ha...ha..ha... sontak kamipun tertawa mendengarnya.
      Sifat idealistis itulah yang akan menuju absolutisme. Absolutisme itu bersifat mutlak atau wajib yaitu kebenaran dari Tuhan (Allah SWT). Maka perintahmu kepada adikmu, peraturan gubernur, peraturan lurah, peraturan menteri, peraturan presiden pada rakyatnya, semuanya hanyalah wajib relatif. Wajib absolut hanya dari Tuhan atau Allah SWT, atau siapapun yang mampu merefer dari peraturan Tuhan / Allah SWT, baik dalam ayat-ayatNya, hadist-hadist, dan lain sebagainya.
     Hingga tak terasa kami dibawa pada filsafatnya Plato dan Aristoteles. Filsafat antara yang dipikiran dan yang ada di kenyataan itu berkaitan dengan Platonism VS Aristotelianism. Kalau Platonism lebih pada yang ada di pikiran (idealism). Platonism menganggap sebenarnya semua hal sudah ada. Pesawat drone pada zaman plato sebenarnya sudah ada, hanya manusia belum bisa menemukannya. Kenapa kok belum bisa menemukannya? Karena manusia terperangkap dalam badan mereka. Sehingga sebenar-benarnya ilmu menurut Plato adalah pikiran. Hal ini ditentang oleh Aristoteles yang tidak lain adalah murid dari Plato sendiri. Aristoteles menyatakan bahwa sebenar-benar ilmu adalah kenyataan. Bapak Marsigit mencontohkan aliran platonism yaitu istri beliau ada satu, sementara dalam pandangan aristotelianism, istri Pak Marsigit ada banyak bahkan lebih dari sekedar poligami, seperti antara lain istri yang pakai batik, istri yang sedang masak, istri yang di sekolah, istri yang sedang tidur, istri yang bangun tidur, dan lain sebagainya. Itupun baru istri yang tadi (yang sudah), belum istri yang nanti (akan datang). Istriku dengan 1000 pangkat 1000 sifat, tidak bisa disebutkan satu per satu.
      Waktu terus berjalan tanpa istirahat. Pikirankupun tak hentinya mengembara seiring berjalannya timeline yang dipaparkan oleh Bapak Marsigit. Hingga pada suatu titik beliau menjelaskan bahwa pikiran sebagai logika. Logika itu bersifat analitik. Begitulah pola pikir orang matematika murni bahwa yang penting berfikir logis, mulai dari definisi, lalu aksioma, lalu teorema satu, teorema dua, ...teorema seribu. Lawannya adalah kenyataan yang bersifat sintetik. Pak Marsigit berpesan bahwa dalam mengajarkan matematika pada anak, jangan menggunakan matematika murni karena akan membuat intuisi anak menjadi hancur dan berantakan. Menjelaskan bilangan 2, bukan dengan definisi. Melainkan dua itu telinga kita, tangan kita, orang tua kita, dan hal-hal sepasang lainnya.
      Dalam kehidupan sehari-hari, Pak Marsigit mencontohkan seorang komentator bola voli, yang tiada henti mengkomentari jalannya pertandingan bola voli menggunakan pengeras suara tetapi mengabaikan azan Maghrib. Maka orang tersebut dianggap tidak mempunyai intuisi tentang sholat. Seharusnya orang yang memiliki intuisi tentang sholat maka ia akan berhenti dulu menjadi komentatornya, lalu menjalankan Sholat Maghrib, setelah itu baru dilanjut lagi menjadi komentator. Penerapan intuisi lainnya yaitu, dalam kehidupan berumah tangga. Seorang istri seharusnya curiga bila suami membeli handphone baru. Terlebih jika membeli handphone lebih dari satu. Tanpa kemampuan intuisi, istri bisa kehilangan suami atau suami bisa kehilangan istri. Jadi sebenarnya hidup ini sekitar 90% nya adalah menggunakan intuisi, sementara matematika murni hanya skitar 2% atau maksimal sekitar 5% berpengaruh dalam hidup kita. Jadi ciri intuisi itu: "tidak tahu kapan dan dari mana datangnya, yang penting aku ngerti."
      Lebih lanjut Pak Marsigit mengungkapkan logika analitik (true justification) itu seperti sistem kerja pada handphone. Handphone bisa melakukan operasi tanpa kenyataan, asalkan yang penting logis saja. Sekali lagi bahwa semua yang dikerjakan oleh handphone bersifat analitik, tidak sesuai kenyataaan. Begitulah kerja atau pola pikir matematika murni, yang menurut Immanuel Kant dikatakan belum berilmu. Maka Imanuel Kant mengkombinasikan antara sintetik dan apriori menjadi sintetik apriori. Apa itu apriori? Pak Marsigit menerangkan dengan contoh: matematikawan dapat menghitung jarak bumi dengan Planet Mars, padahal belum pernah kesana,, matematikawan bisa menghitung suhu Planet Mars padahal belum kesana. Pada intinya logis apriori itu: "belum ada data tapi kok bisa ngomong?" Disini aku mulai memahami apa makna apriori. Pak Marsigit kemudian melanjutkan dengan menerangkan aposteriori. Aposteriori adalah dunia bagian bawah atau dunianya anak-anak. Aposteriori adalah memahami sesuatu setelah mendengarkan, mengalami atau mendengarkan. Aposteriori juga dapat terjadi pada dunia binatang. Contohnya seekor kucing baru akan menggerak-gerakkan ekornya setelah melihat tikus yang lewat. Maka Imanuel Kant mengambil jalan tengah sintetik apriori sebagai konsep sebenar-benarnya ilmu.
     Aku mulai sedikit memahami tentang filsafat, walau mungkin pemahamanku tak lebih dari satu persen dan tak lebih dari butiran-butiran debu. Sedikit demi sedikit, mata, pikiran, dan hatiku terbuka dan siap menangkap lagi ilmu-ilmu yang baru. Kali ini Pak Marsigit menjelaskan antara prinsip dan bayang-bayang. Diatas langit itulah sebenar-benarnya prinsip, sementara bumi adalah bayanganya. Bolpoin adalah prinsip, sementara tulisannya adalah bayang-bayangnya. Orang tua adalah prinsip, sementara anak-anak adalah bayangannya. Maka hindari menyalahkan anak anda, karena itu sama saja menyalahkan anda sendiri. Seperti peribahasa tepuk air kena muka sendiri. Jangan mengeluh kalau murid anda suka mencontek, barangkali dulu anda suka mencontek. Lebih lanjut Pak Marsigit mengungkapkan bahwa sebenar-benarnya prinsip adalah kuasa Tuhan (absolut/monoism) seperti yang tercantum dalam kitab suci. Prinsip terdiri atas prinsip identitas (Tuhan) dan prinsip kontradiksi (kenyataan).
     Seiring wafatnya Compte (1857), faham atau fenomena Compte menjadi berkembang. Ia menyatakan bahwa agama tidak logis dan tidak dapat untuk membangun dunia. Agama diletakkan di lapis terbawah, kemudian di atas agama adalah filsafat, kemudian di atasnya lagi adalah saintifik. Mungkin sepintas kita menolak fenomena Compte ini. Negara kita adalah Pancasila yang menjunjung aspek Ketuhanan atau dimensi spiritualitas pada nomor utama. Namun kenyataannya, handphone, internet, Whatsaap, Facebook, seolah tak lepas dari kehidupan kita. Jangan heran kalau kita jadi lebih mementingkan watshaap, dari pada sholat atau ibadah. Jangan heran kalau kita lebih berjuang mendapatkan smartphone, dari pada sedekah.  Jadi jangan kita menunjuk telunjuk pada Compte yang merendahkan agama, sementara empat jari yang lain ternyata mengarah pada keburukan kita sendiri. Pemaparan ini telah mengingatkanku bahwa ternyata aku masih sering meletakkan agama dibawah kepentingan-kepentingan lainnya. Semoga refleksi perkuliahan kali ini membuka pikiran dan hatiku agar kehidupanku kedepannya menjadi lebih baik.
       Di akhir perkuliahan ini, Bapak Marsigit menceritakan kisah mengenai seorang Resi bernama Resi Gutawa yang sangat baik, sangat dekat dengan malaikat, dan sangat dekat dengan Tuhannya. Ia memiliki istri yang sangat cantik bernama Dewi Windarti dan dikaruniai tiga orang anak bernama Guarso, Guarsi, dan Anjani. Saking cantiknya ada seorang dewa yang tertarik dengan Dewi Windarti, hingga terjadilah sebuah skandal. Kemudian Sang Dewa memberikan Cupu Manik Astagina kepada Dewi Windarti. Dewi Windarti menerima begitu saja cupu tersebut. Di era sekarang, Pak Marsigit mengibaratkan Samsung (smartphone) sebagai Cupu Manik tersebut. Kita tidak tahu smartphone ini memuat berapa kontak, berapa negara yang terlibat dalam pembuatannya, dan di-packing dimana. Kita hanya tertarik saja, untuk whatsaap, facebook, internetan, sampai lupa makan, lupa mandi, lupa sholat, lupa anak, lupa suami. Begitulah yang dilakukan Dewi Windarti. "Hei Windarti, kamu pegang apaaa??" Teriak Resi. Namun Windarti hanya diam dan tetap asyik memainkan cupu tersebut. Kemudian dikutuklah Dewi Windarti: Jadi Patung Kau!! Jadilah patung Dewi Windarti. Kemudian dibuanglah Cupu itu ke danau. Namun kemudian ketiga anaknya berusaha mendapatkan cupu tersebut dan rela nyemplung ke dalam danau. Padahal cupu tersebut telah membuat siapa saja yang masuk danau tersebut akan menjadi monyet. Akibatnya anak-anak resi menjadi monyet. Begitulah Samsung (smartphone) telah berhasil membuat orang-orang di seluruh dunia menjadi patung dan monyet. Dalam kehidupan sehari-hari, misal saat pulang sekolah, pulang kuliah, atau pulang kerja, sering kita langsung pegang HP, tidak ada dialog dengan orang tua, kerabat atau tetangga. Semua asyik dengan gadgetnya masing-masing. Secara tidak langsung, sebenarnya kita semua telah dikutuk menjadi patung-patung dunia. Semoga refleksi ini bisa menyadarkan kita, khususnya aku sendiri, sehingga dapat menjadi manusia yang lebih baik serta hidup dalam suasana yang baik seperti ikan-ikan dalam air yang jernih, bebas dari polusi maupun limbah.

Irham Baskoro
17709251004
Pend. Matematika A, PPs UNY 2017

Tidak ada komentar: